HTN INDONESIA
NAMA:GAGARIN ENGGANO
NIM:02011381520307
Hukum Konstitusi kelas B
KAMPUS PALEMBANG
Jimly Asshiddiqie,Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, h. 13.
Moh.Mahmud MD,Perdebatan Hukum Tata Negara PascaAmandemen Konstitusi, Jakarta:Rajawali Pers,2013
NIM:02011381520307
Hukum Konstitusi kelas B
KAMPUS PALEMBANG
CHECK AND BALANCES DAN PENERAPANYA
DIINDONESIA
Salah satu ciri negara hukum yang dalam bahasa
Inggris disebut legal state atau state based on the rule of law,dalam bahasa
Belanda dan Jerman disebut Rechtsstaat,adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan
dalam penyelenggaraan kekusaan negara,meskipun kedua istilah rechtsstaat dan
rule of law itu memiliki latar belakang pengertian yang berbeda,tetapi
sama-sama mengandung ide pembatasan kekuasaan.Pembatasan itu dilakukan dengan
hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitualisme modern.Dalam upaya
untuk mengadakan pembatasan terhadap kekuasaan terdapat pemikiran yang
berpengaruh dalam mengadakan pembedaan fungsi-fungsi kekuasaan yaitu Montesquieu
dengan teori trias politicanya,yaitu cabang kekusaan legislatif,eksekutif atau
administratif,dan yudisial
Menurut Montesquieu,membagi kekuasaan negara menjadi
tiga cabang yaitu,kekuasaan legislatif sebagai pembuat,kekuasaan eksekutif
sebagai pelaksana,kekuasaan yudisial sebagai untuk menghakimi. Pandangan Montesquieu inilah
yang kemudian dijadikan doktrin separtion of power di zaman
sesudahnya. Menurut Montesquieu, harus dibedakan dan dipisahkan secara
struktural dalam organ-organ yang tidak saling mrncampuri urusan masing-masing.
Kekuasan legislatif hanya dilakukan oleh lembaga legislatif, kekuasaan
eksekutif hanya dilakukan oleh lembaga eksekutif, dan demikian pula kekuasaan
yudikatif hanya dilakukan oleh lembaga yudikatif. Konsepsi trias
politica ini jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat tidak
mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga kekuasaan tersebut hanya berurusan
secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut.
Kenyataanya dewasa ini menunjukan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu
tidak mungkin untuk tidak saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat
sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain dengan prinsip checks
and balances.
Sistem check and balance mulai
diterapkan dalam setiap cabang kekuasaan saling mengawasi dan mengimbangi
pemerintahan lainnya. Prinsip pengawasan dan perimbangan ini dirancang agar
tiap cabang pemerintahan dapat membatasi kekuasaan pemerintahan lainnya.
Sehingga kedudukan MPR tidak lagi menjadi pusat dari segala cabang pemerintahan
dan tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara yang menjalankan sepenuhnya
kedaulatan rakyat. Kedudukan MPR menjadi sejajar dengan lembaga tinggi lainnya.
Tujuan dari pemisahan kekuasaan tersebut adalah untuk
menghindari menumpuknya kekuasaan negara pada satu organ yang dapat
meningkatkan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Dengan perkembangan
ketatanegaraan dimana pemisahan kekuasaan tidak dilakukan secara murni dan
telah berkembang pada pembagian kekuasaan dengan diiringi checks and
balances
PENERAPANYA DI INDONESIA
Pelaksanaan checks
and balances internal dalam cabang kekuasaan legislatif di Indonesia
dapat dilihat dalam mekanisme hubungan antara MPR, DPR dan DPD. Berdasarkan
rumusan dari ketentuan Pasal 1 Ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 yang
berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar” terlihat bahwa kedaulatan dikembalikan kepada
kepada rakyat untuk dilaksanakan sendiri dengan dasar konstitusi. Ketentuan
tersebut menghilangkan lembaga tertinggi negara sebelumnya, yaitu MPR yang
selama ini dipandang sebagai pemegang sepenuhnya kedaulatan rakyat. Dengan
begitu maka prinsip supremasi MPR telah berganti dengan prinsip keseimbangan
antar lembaga negara (checks and balances).
Selain
menghilangkan supremasi MPR, amandemen UUD 1945 telah melahirkan lembaga
perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mewakili kepentingan
daerah di level nasional. Meskipun pelaksanaan di lapangan tidaklah semudah
yang dibayangkan, secara konseptual keberadaan DPD dimaksudkan untuk membangun
mekanisme kontrol dan keseimbangan (checks and balances) di
internal lembaga legislatif itu sendiri.
Adapun mekanisme check and balances antar
cabang kekuasaan bisa dilihat pula dari hubungan lembaga eksekutif dan
legislatif. Patut dicatat bahwa dalam ranah eksekutif dengan penerapan sistem
presidensial, mekanisme checks and balances telah dilembagakan dalam institusi
suprastruktur politik, yaitu pemisahan kekuasaan antara eksekutif dengan
legislatif yang masing-masing dipegang oleh presiden dan lembaga legislatif.
Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif memiliki legitimasi yang kuat
karena dipilih secara langsung oleh rakyat lewat pemilu. Selain itu, meskipun
parlemen berfungsi sebagai pemegang kekuasaan legislatif atau pembentuk
undang-undang, presiden tetap memiliki hak mengajukan RUU serta membahas RUU
bersama DPR untuk kemudian dilakukan persetujuan bersama.
Dalam hubungannya dengan parlemen, presiden tidak
bertanggung jawab kepada parlemen dan hanya dapat dijatuhkan oleh parlemen jika
diikuti alasan-alasan khusus dan dengan mekanisme yang khusus pula. Untuk
memberikan jaminan checks and balances antara eksekutif dan legislatif,
konstitusi memberikan panduan bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR.
Jadi
dapat disimpulkan Apabila prinsip checks and balances tidak
dijalankan dengan baik, maka ada kemungkinan akan terjadi tindakan
kesewenang-wenangan yang dilakukan salah satu pemegang kekuasaan negara karena
tidak ada batas kekuasaan dan tidak ada pengontrolnya. Kemungkinan lain yang
timbul adalah adanya intervensi atau bahkan saling melemahkan antar cabang
kekuasaan negara. Bila hal itu terjadi, akan dapat menimbulkan suasana chaos,
terjadi pelanggaran hak-hak rakyat dan pemerintahan yang tidak stabil yang
justru merugikan negara. Oleh karena itu, dengan penerapan prinsip checks
and balances maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan
dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga tidak akan terjadi penyalahgunaan
kekuasaan.
DAFTAR
PUSTAKA
http://rovicfoundation.blogspot.co.id/2017/02/check-and-balances-system-dan.html
Diakses pada14 november
Jimly Asshiddiqie,Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, h. 13.
Moh.Mahmud MD,Perdebatan Hukum Tata Negara PascaAmandemen Konstitusi, Jakarta:Rajawali Pers,2013
Tulisannya bagus mas, tpi kalo bisa di berikan contoh konkrit penerapan check and balance di Indonesia.
BalasHapusPenulisan yang cukup baik, saya dapat menangkap benang merah yang penulis jabarkan diatas, alangkah baiknya jika penulisan itu jika diberikan contoh kasus sebagai pelengkap,terima kasih
BalasHapusterima kasih atas pendapatnya,tetapi sudah dijabarkan contoh kokretnya dibagian penerapan di indonesia
BalasHapusArtikel yang bermanfaat karna dapat memahami pentingnya check and balances terhadap kekuasaan
BalasHapusSebelumnya terima kasih atas artikelnya yang bermanfaat. Mungkin perlu ditambahkan bagaimana penerapannya di indonesia dewasa ini apakan sudah berjalan dengan baik dan benar atau belum?. Sedikit tambahan mungkin penulisan paragrafnya perlu agak dirapikan lagi
BalasHapus